Waktu itu sekitar tahun 2014, saya lagi ngontrak di rumah kecil pinggiran Bogor. Rumahnya sederhana, ada ruang tamu, dua kamar, dapur kecil, dan halaman belakang yang cuma ditutup pagar kawat. Tetangga bilang dulunya tanah belakang rumah itu sawah, sekarang udah jadi kebun bambu dan rumput liar yang tinggi-tinggi. Waktu pertama kali pindah sih aman-aman aja, tapi malam Jumat hari itu bikin semua berubah, Pak.
Malam itu sekitar jam 11. Istri lagi pulang kampung bawa anak. Saya sendirian karena gak ada siapa-siapa, saya pikir, ya udah sekalian me time sambil ngopi, buka YouTube, nonton video review motor. Tiba-tiba listrik kedip-kedip, angin malam masuk lewat jendela dapur, bawa suara gesekan dari belakang rumah.
"Kreeeekkk… kreeeekkkk…" Awalnya saya pikir cuma angin geser-geser ranting bambu, tapi makin lama suaranya makin jelas. Kayak ada orang jalan pelan-pelan di belakang rumah. Akhirnya saya matiin suara YouTube. Hening sejenak.
"Kreeeek… srek… srek… srek…" Suara itu muncul lagi, ritmenya pelan tapi teratur. Bukan suara kucing, bukan suara ranting. Saya pernah hidup di kampung, dan tau betul itu langkah kaki manusia.
Rambut kuduk mulai berdiri. Satu-satunya penerangan cuma lampu dapur yang redup dan lampu belakang rumah warna kuning temaram, itu pun remang-remang kayak lampu kontrakan horor di film Indosiar.
Insting pertama saya bilang, jangan sok jagoan. Akhirnya saya diem, pura-pura gak denger. Tapi pak... suaranya malah makin deket.
"Kreeek… sreeeekkkk…", terus suaranya berhenti. Pas banget di belakang jendela dapur, gak ada suara napas, gak ada juga suara angin. Gak ada apa-apa dah. Cuma hening total. Dan anehnya, saya ngerasa ada yang ngeliatin dari luar.
Dengan keberanian yang cuma seujung kuku jempol kaki, saya pelan-pelan nengok ke arah jendela dapur. Cahaya lampu belakang rumah nyorot sesuatu. Bukan sosok jelas, tapi bayangan gelap tinggi. Bukan manusia, gak mungkin manusia juga sih kayaknya. Tingginya lebih dari 2 meter, kepalanya miring, dan gak gerak sama sekali. Saya langsung mundur, napas ngos-ngosan. Kalau ini film, mungkin saya udah jadi karakter pertama yang mati duluan.
Akhirnya saya nekat ambil senter dari kamar depan, pas baru balik ke dapur, "Krakkkk… krakkkk…", pintu belakang yang tadinya saya kunci, pelan-pelan bergerak. Gagang pintunya gerak, kayak ada yang nyoba buka dari luar. Saya gak teriak. Gak bisa lebih tepatnya. Tenggorokan kering kayak dompet akhir bulan. Saya cuma bisa melangkah mundur dan pegang sapu.
Beberapa detik kemudian, semua suara hilang. Bayangan itu gak ada. Angin juga berhenti. Pintu diam lagi, gak ada suara. Besok paginya, tetangga sebelah cerita, “Iya Pak, emang suka ada yang lewat situ malem-malem. Dulu tanah belakang rumah situ kuburan lama sebelum jadi kebun bambu.”, saya cuma ngangguk. Sejak malam itu, setiap istri pulang kampung, saya milih buat ikut. Gak ada lagi me time sendirian di rumah.
