Manspreading, Kebiasaan Laki-Laki yang Dampaknya Gak Nyaman buat Orang Lain

Bacaan 3 menit

Kalau Bapak sering naik transportasi umum, mau di KRL, bus, MRT, atau angkot, pasti pernah nemu satu penumpang yang bisa ngabisin tempat yang didudukin, padahal bisa dipake buat 2-3 orang. Biasanya ada aja penumpang laki-laki, duduk dengan kaki terbuka lebar. Lebarnya bukan sekadar nyaman, tapi kayak lagi jaga gawang final piala dunia. Inilah yang disebut manspreading. Kedengarannya sepele, tapi di ruang publik yang sempit, kebiasaan ini bisa jadi sumber keresahan. Buat sebagian orang, manspreading dianggap gaya duduk santai, tapi di transportasi umum, di mana setiap centimeter kursi bisa jadi rebutan, sikap ini bikin penumpang lain naik pitam.

Kita kudu inget kalo ruang publik milik bersama, Pak. Transportasi umum dirancang buat dipakai bareng-bareng. Artinya, ada kesepakatan tak tertulis kalo semua orang sama-sama menahan ego demi kenyamanan bersama. Manspreading melanggar kesepakatan itu. Pas satu orang ngebuka kaki terlalu lebar, yang lain otomatis harus ngalah. Ada yang jadi duduk miring, ada yang setengah berdiri padahal bayar tiket sama. Di jam sibuk, kondisi ini makin kerasa nyebelin karena satu orang bisa ngambil ruang dua orang. Bukan karena badannya besar, tapi karena posenya. Dan di sinilah masalahnya, kita kudu inget kalo ruang publik bukan tempat buat merasa paling berhak.

Manspreading

Dampak yang ditimbulin juga lebih besar dari sekadar “Ilfeel”. Banyak yang mikir, “Ah cuma duduk doang, lebay amat.” Padahal emang bikin kagak nyaman, khususnya perempuan, lansia, sampe anak-anak. Buat perempuan, manspreading sering bikin posisi duduk jadi gak nyaman, bahkan bikin segan buat negur. Ada rasa canggung, takut dianggap ribut, atau malah disalahin. Buat lansia dan anak-anak, ruang yang harusnya bisa dipakai duduk malah ketutup kaki orang dewasa yang sehat-sehat aja.

Pulang-Pergi ke Kantor Pake Transportasi Umum Tuh Capek! Tapi Ada Manfaatnya

Ada juga yang kasih alesan, "biar gak kejepit” Ada lagi alasan klasik manspreading, kayak, “Ya namanya juga laki-laki.” Dalih kenyamanan biologis sering dipakai buat pembenaran, tapi pan kenyamanan bersama tetep jadi yang terpenting. Jangan sampe kenyamanan pribadi harus dibayar dengan ketidaknyamanan orang lain, apalagi di kursi umum yang ukurannya jelas-jelas bukan sofa rumah. Kalau semua orang pakai alasan biar nyaman, ya bubar konsep transportasi massalnya.

Manspreading

Manspreading dan budaya gak enakan orang Indonesia bikin kebiasaan ini makin normal dilakuin. Di Indonesia, kita punya budaya gak enakan yang kuat. Orang jarang negur langsung, apalagi ke orang asing. Akhirnya, manspreading sering dibiarin, bukan karena diterima, tapi karena malas ribut. Yang jadi korban? Penumpang lain yang milih diam sambil nahan kesal. Ini yang bikin manspreading terasa makin meresahkan. Dan ironisnya, yang sering disalahkan justru yang merasa terganggu. “Ya pindah aja.” “Kenapa gak berdiri?” Padahal akar masalahnya ada di satu orang yang gak mau nutup kaki sedikit.

Di KRL jam pulang kantor, manspreading bikin satu bangku tiga orang jadi cuma muat dua. Di bus kota, kaki yang kebuka bikin orang sebelah harus duduk miring sambil megang tas erat-erat. Di MRT yang rapi pun, manspreading tetap terasa kontras karena semua orang lain berusaha duduk tertib. Masalahnya bukan di jenis transportasinya, tapi di sikap penggunanya. Mau fasilitas secanggih apa pun, kalau etika dasarnya gak jalan, ya tetap aja bikin resah.

Etika Kalo Bapak Ngantuk Berat di KRL

Penting dicatat juga ngomongin manspreading bukan berarti nyerang laki-laki. Ini bukan perang gender. Ini soal kebiasaan yang kebetulan banyak dilakukan oleh laki-laki, dan berdampak ke orang lain. Justru sebagai bapak-bapak, kita punya posisi penting buat jadi contoh. Cara kita duduk, bersikap, dan berbagi ruang adalah pelajaran kecil buat anak atau bahkan lingkungan yang ngeliat kita di tempat umum. Ngerapetin kaki sedikit di transportasi umum juga gak bikin kejantanan bapak berkurang kok.

Jadi kalau besok Bapak naik kereta atau bus, duduknya jangan seenak jidat yak. Bukan buat kelihatan sopan, tapi buat nunjukin satu hal sederhana kalo kita masih peduli sama sekitar. Dan di kota yang makin padat, kepedulian kecil kayak gini mahal bener harganya.

Ditulis oleh:
Atun Gorgom
Bacaan 3 menit
Dilihat :
35

Bagikan Artikel Ini

Artikel Terkait